Jumat, 04 Mei 2012

Cerpen

AMANAT AYAH

             Sebuah jip yang kami tumpangi sangat cepat larinya. Tiap kali membelok di sebuah tikungan tubuh kami seperti didorong kearah yang berlawanan dengan arah tikungan. Jalanan sangat sepi. Dan tiga orang yang ada di dalam jip inipun selalu membisu seakan sibuk dengan pikiran masing-masing. Aku lihat jam tanganku menunjukkan pukul sebelas lewat seperempat. Angin masuk dari pintu jip dan bertiup sangat kencang mengacaukan sisiran rambut dan kadang terasa seperti akan melepaskan kancingan baju.
            
Sekira pukul sebelas tadi aku baru saja membaringkan tubuh di dipan. Hampr tiga tahun aku berbaring di dipan itu. Mula-mula terasa agak sakit dipunggung karena dipan itu tidak berkasur, hanya tikar mendong lebar yang dilipat jadi dua, seukuran dipan itu. Barangkali karena terlalu banyak duduk punggng dan pantat terasa pegal-pegal. Sebulan lagi aku harus menempuh ujian akhir. Dan sejak aku memasuki sekolah SMA negeri ini, ayah selalu mendorongku agar aku selalu  belajar giat. Ayah menginginkan apabila aku lulus besok melanjutkan ke fakultas hukum. Ayah menginginkan kelak aku bekerja sebagai jurist atau pengacara.
            
Lampu belum kupadamkan. Aku mengambil selimut lurikku dan kututupkan pada separo badan bagian bawah untuk mengurangi hembusan angin yang bertiup dari jendela yabg tidak bisa ditutup rapat karena engselnya sudah rusak. Tiba-tiba sebuah kendaraan bermotor berhenti di jalan depan rumah pondokan. Aku mendengar langkah-langkah kaki bersepatu memasuki halaman depan melewati jalan masuk berkerikil. Kemudian ketokan pintu. Aku bangun kembali.

“Engkau Tikto!” Suara itu seperti medesakku ke sebuah sudut. Aku terkejut sehingga tidak segera menjawab.
             “ Mari pulang dulu nak”, kata pamaNku lagi.
             “Ada apa paman?”
             “Ayahmu meminta engkau pulang. Lekaslah berganti pakaian. Beberapa potong yang lain engkau bawa juga untuk ganti di sana”.
            
Aku kira perjalanan ke rumah telah melampaui separo jarak. Dan kalau perhitungan ini benar berarti kami harus melalui jarak dua puluh kilometer lagi. Dalam perjalanan ini pikiranku sangat kacau. Barangkali kalau sesekali kami bercakap-cakap, kerusuhan pikiran ini akan berkurang. Tapi di antara kami, aku dan dua pamanku di dalam jip ini tidak seorangpun hendak memulai berbicara. Pada hal satu pertanyaan besar selalu memukul di dadaku. Suara-suara yang gemuruh di dada ini sesekali terasa lebih kuat dari suara motor jip.
            
Kira-kira dua bulan yang lalu aku pulang ke kampung. Tidak suatupun yang perlu aku pikirkan. Ayah sebagai biasa. Setiap hari kerja ayah selalu masuk meskipun luka kakinya belum sembuh. Sebenarnya luka itu sudah mendalam. Tapi ayah kuatkan juga pergi bekerja denga naik becak. Selain luka di kakinya, akhir-akhir ini menurut ibu, ayah kadang sakit demam. Tapi ketika aku pulang, ayah tetap gemuk. Dan satu sifat ayah yang aku kagumi ialah kegembiraannya. Ayah selalu gembira, ketawa-tawa dan kadang bergurau dengan Totok adikku yang terkecil.
            
Tapi sekarang aku diminta pulang. Dan yang meminta ialah ayah sendiri. Adakah sesuatu yang  terjadi di rumah? Pikirku. Pasti ada sesuatu yang terjadi. Kalau tidak ada apa-apa  yang luar biasa, paman tidak akan menjemputku pada malam-malam begini. Tengah malam begini aku disuruh pulang. Pasti ada yang terjadi. Barangkali ibu sakit? Atau salah seorang adikku yang aku sayangi mendapat suatu kecelakaan? Pertanyaan-pertanyaan demikian selalu berdesakkan di kepalaku. Dan dadaku makin gemuruh.
            
“Paman, apa yang terjadi di rumah, Paman!” kukeraskan suaraku setelah mulutku mendekati telinganya. Tapi paman hanya menggelengkan kepala dan pandangannya terus ke depan menembus kegelapan, mengikuti lampu jip yang tidak begitu terang..
            
“Nantilah di rumah,” kata Paman pendek. Dan kami membungkam kembali. Jip meluncur terus. Suasana sekitar sepi sekali sehingga suara motor merajai jalanan yang kami lewati. Lampu jip cuma mampu menembusi sejauh beberapa meter. Sekali-sekali di sebelah-menyebelah jalan yang kami lewati tampak tanaman tebu atau sawah yang membentang tanpa tanaman, atau barangkali hanya baru ditumbuhi bibit kecil sehingga seperti sawah yang kosong. Dan baru saja kami melewati sebuah padang dengan pohon-pohon jati yang rimbun. Aku ingat cerita ayah beberapa tahun yang lalu ketika zaman pendudukan Belanda. Kaum gerilya kerapkali menghadang konvoi-konvoi serdadu Belanda di hutan jati ini. Di jalanan yang melewati hutan jati yang kecil ini sering terjadi pertempuran. Dan apabila kaum gerilya tidak tahan terhadap serangan konvoi musuh, dengan mudah gerilya itu mundur dengan menyeberangi sungai Sampeyan di belakang hutan kecil itu. Semua mereka akan aman dari kejaran musuh.
            
Seekor kucing melintas cepat di depan jip. Tapi ia tidak mengganggu jalan kami. Dan paman yang mengemudikan jip terus mengencangkan perjalanan.
            
Kami sampai di rumah. Jip membelok ke kanan, ke halaman rumah. Dari dalam jip aku tidak dapat melihat dengan jelas keadaan dalam rumah. Segera aku turun. Dari halaman terdengar suara adikku menangis. Suara tangis Tini dan Nduk. Siapakah yang mereka tangisi? Ibukah? Atau ayah? Atau Totok, adikku paling kecil itu? Ataukah dik Pang sakit lagi? Aku bergegas menaiki tangga depan. Hatiku gelisah. Dari pintu aku lihat beberapa orang duduk di amben. Ketika aku masuk ke ruang tengah itu mereka tidak mengatakan apa-apa, dan cuma memandangku. Pandangan mereka terasa seperti hendak mengatakan sesuatu yang tertahan.
            
Aku terus ke kamar, desah tangis terkurung di dalamnya. Ayah terbaring di dipan, dikelilingi ibu, bibi dan adik-adikku. Ibu memberi tempat untukku. Aku tertegun beberapa saat melihat wajah ayah yang pucat dalam keremangan sinar lampu petromak.
            
“Ini Tikto datang. Mas,”  kata ibu. “Ini Tikto”. Suara Ibu agak bernada tinggi. Tapi ayah tidak berkata sepatah pun. Ayah tidak lagi kuat untuk berkata-kata. Pandangannya sesekali meredup, tidak bersinar, sesekali memejam dan diam agak beberapa detik.
             “Ayah,” kataku lirih, kupegang tangannya, dingin sekali.
             “Ayah,” ulangku lagi. “Aku, yah. Aku Tikto.”
             Sebentar mata ayah terbuka dan memandang ke sekitar, tidak langsung menatapku. Tapi pandangannya begitu lemah.
             Ibu menyuruh aku berdoa.
             “Mengajilah juga,” kata bibi.
             Aku diam. Aku tidak melakukan suruhan ibu ataupun bibi. Hatiku gelisah dan bingung. Bagaimana aku harus melakukannya? Kemudian bibi menyuruh memanggil tetangga, seorang guru mengaji.
            
“Ayah,” desahku lagi. Tiada kusadari air mataku keluar dari ujung mata dan menuruni pipi. Hangat terasa. Air mata hangat dengan hati yang dingin.
            
Ayah. Ayah, suara hatiku,  seakan hendak mengadu. Mengapa tidak ayah memberikan kepadaku sesuatu yang berharga bagi ayah saat keadaan ayah seperti sekarang? Mengapa ayah tidak pernah memberi sebuah kitab yang aku bisa gunakan untuk keselamatan perjalanan ayah seperti sekarang ini?  Ayah, suara hatiku lagi. Ayah telah memberiku bermacam-macam buku. Setiap Ayah pergi ke kota selalu singgah di toko buku dan membelikan aku bermacam buku pengetahuan Buku sejarah dunia, sejarah Indonesia, KUHP, buku ilmu bumi, buku bahasa Inggris. Dan ayah masih menjanjikan sebuah buku Engelbrecht, Sosiologi, dan buku-buku Hukum Internasional, agar studiku di fakultas kelak dapat lancar dan cepat lulus dengan gelar Sarjana Hukum. Dan ayah mendorongku agar melanjutkan terus sehingga aku benar-benar ahli dalam ilmu hukum
            
Ayah, suara hatiku lagi. Kenapa ayah tidak pernah menunjukkan secara khusus sebuah kitab yang aku bisa gunakan untuk pengiring perjalanan ayah?
            
Ayah tahu sekarang, aku tidak bisa berbuat banyak untuk membantu Ayah dalam perjalanan  yang sangat jauh ini, bila suatu saat nanti Ayah harus melakukannya. Buku-buku yang ayah belikan untukku tak satu pun yang berguna malam ini walaupun saya yakin bahwa buku-buku itu akan bermanfaat bagi pendidikanku kelak. Suatu hari ketika pulang liburan semester, Ayah bercerita.
           
Ayah  punya seorang kenalan di kota. Ia seorang Sarjana Hukum dan mempunyai profesi sebagai Advokat atau Pembela untuk orang-orang yang berperkara atau diperkarakan di pengadilan.
          
 “Ia seorang yang kaya karena pekerjaannya. Rumah besar dan bagus. Dua buah mobilnya juga bagus. Dan tentu sangat mahal. Kalau engkau kelak menjadi advokat, aku tidak mengharapkan engkau menjadi orang kaya seperti banyak advokat di kota,” Setelah ia berdiam diri sejenak, seolah sedang menyusun kalimat-kalimat yang sempurna untuk menyampaikan pendapatnya, ia meneruskan.

“Sebagai advokat, aku ingin agar engkau bertindak sesuai dengan suara hati nurani. Kalau menurut suara hati nuranimu, seseorang itu perlu dibantu atau dibela karena ia dikhianati, dianiaya atau didzalimi orang lain, engkau harus tampil untuk membelanya, untuk melindunginya. Umumnya orang yang mendzalimi orang kecil itu punya kedudukan tinggi, atau mempunyai hubungan dengan orang berpangkat, atau punya banyak uang. Orang yang didzalimi itu rakyat yang tidak  punya pelindung, jarang ada orang yang bisa membelanya. Banyak kejadian seperti itu. Bahkan juga Pemerintah yang mestinya melindungi hak milik rakyat biasa, juga tidak malu untuk untuk merampok dan merampas hak milik mereka. Dengan dalih untuk kepentingan umum, tanah rakyat yang dimiliki secara turun menurun  warisan dari kakek-nenek moyang, mereka di usir, digusur, dan harus pindah ke daerah lain. Tanah mereka memang dibeli tapi dihargai sangat murah, jauh di bawah harga pasaran. Tentu saja mereka tidak bisa membeli tanah lagi untuk digarap sebagai sumber mata penghidupan mereka. Dari tanah yang dibeli secara paksa itu kemudian dibuat lapangan golf, supermarket atau pertokoan besar, yang menjual barang-barang keperluan sehari-hari dengan harga jauh lebih mahal daripada di pasar kampung. Kalau ingin meningkatkan kebersihan dan kesehatan atau apa pun alasan pemerintah, mengapa bukan di lokasi pasar  tradisional itu saja dibangun pasar yang bersih, sehat dan aman? 

Orang yang haknya terampas semacam itulah yang harus dibela, dilindungi, dibantu kalau kelak kau menjadi advokat. Maklum, sebagian besar warga masyarakat belum mencapai tingkat pendidikan umum yang baik. Apalagi pendidikan tentang hukum yang antara lain mengatur kedudukan seseorang di hadapan hukum, dan bahwa setiap orang mempunyai hak dan kewajiban sebagai warga negara. Dan kondisi sebagian masyarakat yang demikian itu benar-benar dimanfaatkan oleh para advokat yang gila kekayaan itu untuk menjerumuskan mereka. Advokat itu mau membantu dengan melirik lebih dahulu kantong dan status orang yang akan dibantu. Bila mereka tidak punya dana besar, jangan berharap akan memperoleh keadilan di depan hukum. Hingga saat ini keadilan itu sungguh mahal dan sangat mustahil bisa dijangkau oleh mereka yang tidak punya dana untuk menyuap pejabat–pejabat di pengadilan. Dan kalau engkau membantu orang-orang yang tidak punya itu,  benar-benar dengan ikhlas, jangan mengharapkan mendapat imbalan apa-apa. Advokat yang kaya-raya itu acapkali pinter membolak-balik kenyataan, pinter “bersilat lidah” untuk melindungi klien mereka.

Maksudku, kata Ayah, orang yang nyata-nyata salah menurut akal sehat, dengan kelihaian berbicara mereka dibela sehingga perkaranya menang, terhindar dari penjara dan pembelanya dapat bayaran banyak. Coba perhatikan, para penguasa yang jelas-jelas menggaruk kekayaan negara selama tiga puluh tahun sehingga  keluarganya menjadi kaya raya, para Advokat yang keblinger itu masih mau juga membela  mereka.  Menurut mereka, Advokat yang mata duwitan itu, pengusaha itu juga berjasa membangun negara dan bangsa, membangun jalan tol, gedung-gedung tinggi dan mewah, menata kota sehingga bagus, mendirikan pabrik, dan lain sebagainya.
Ketika mereka tengah berkuasa, memang begitu kelihatannya. Rakyat tidak kesulitan untuk membeli pakaian dan makanan yang mereka inginkan dengan harga relatif murah. Tapi pembangunan itu dibiayai pemerintah dengan cara berhutang ke negara-negara kaya yang berlagak seolah menjadi dewa penolong, “murah hati” kepada Pemerintah. 

Untung, tiga puluh tahun kemudian ada segolongan orang yang berani bahkan nekad membuka kebobrokan perilaku mereka yang sedang berkuasa. Memang, sesudah terbuka kedok  mereka yang curang itu,  kehidupan rakyat kecil bukannya  menjadi sejahtera. Malah  menjadi terhempas ke dalam jurang yang terasa sangat sulit untuk bangkit berdiri menggapai dataran di atas jurang itu . Kehidupan bangsa ini terasa seperti akan hancur, barang-barang keperluan sehari-hari sangat mahal hampir tidak terjangkau oleh orang-orang melarat di desa dan di kota. Kalau saja  sekelompok orang pemberani itu baru bangkit enampuluh tahun kemudian dan kecurangan penguasa itu baru terbuka, masya Allah, pasti bangsa dan negara ini sudah mengalami kiamat kubra.

Mereka, para penguasa curang itu dalam tiga puluh tahun sudah menyiapkan kader dan calon-calon pengganti mereka yang terdiri dari anak-anak dan cucu-cucu mereka, konco-konco mereka serta anak cucu konco-konco mereka, yang mempunyai watak dan tabiat sama dengan penguasa itu. Mereka berbuat demikian supaya kecurangannya tidak diketahui oleh orang atau kelompok lain yang tidak sepaham.Hal seperti itu pasti akan mereka lakukan sepanjang generasi agar borok dan kecurangan mereka tidak diketahui umum. Yah persis seperti negara kerajaan. Penguasa-penguasa  macam begitu lah yang mereka bela mati-matian. Apakah para Advokat itu tidak punya moral, tidak punya hati nurani yang bisa membedakan benar dan salah, baik dan buruk? Aku tidak bisa mengerti.”

Ayah berhenti berbicara. Aku juga diam, tidak menanggapi nasihat yang  persis seperti khotbah di masjid. Aku tidak mampu memberi komentar kecuali mencoba mencocokkan pendapat Ayah itu dengan kenyataan  di masyarakat. Aku masih berstatus sebagai murid  kelas dua SMU ketika Ayah menyampaikan pandangan-pandangnnya. Tetapi beberapa teman-teman di sekolah akhir-akhir ini mulai sering  berdiskusi tentang situasi dan kondisi negara ini. Dan secara garis besar memang banyak samanya. Selama itu tidak pernah anak-anak SMU berani demo di jalanan  atau kantor pemerintah. Kalau ada murid-murid yang demo, beberapa jam kemudian Kepala Sekolah itu di pecat.  
     
 “Bukan, sekali lagi, bukan Advokat macam begitu yang aku inginkan padamu, Ingat-ingat itu. Ini amanatku. Amanat itu, apalagi dari orang tua, harus kau laksanakan kelak, pada waktunya. Bukan saran atau usul bahkan bukan sekadar nasihat biasa, tetapi Amanat, yang mesti kau genggam erat dalam pikiran dan hati nuranimu. Dan kau laksanakan. Seorang yang diberi Amanat, dan mengabaikannya, orang tua-tua bilang bisa mencelakakan.”  Waktu itu aku memang berdoa mudah-mudahan amanat Ayah bisa aku wujudkan.           
       
Tapi kini, di hadapan kami malam ini, Ayah terbaring lemah.  Ketika aku berada di sampingnya, tangannya kugenggam Terasa dingin sekali. Ia menatapku dengan cahaya mata yang redup. Aku tidak pasti apakah ia masih mengenalku sebagai anak pertama, laki-laki, yang ketika beliau masih  sehat dengan sangat bersemangat seringkali menyampaikan pandangan dan harapannya kepadaku .       
            
Seorang Kyai yang dipanggil tadi masuk. Seorang guru mengaji yang setiap pagi dan sore memberi pelajaran membaca kitab suci. Kyai itu mendekati ayah kemudian membuka sebuah kitab kecil dan mulai mengaji: Yaasin, Yaasin, wal kur’anil hakim. Suaranya rendah dan khusyuk.  Aku mengikuti bacaan itu dalam hati, sebisanya..
        
Hatiku sangat sedih, malam ini, saat Ayah terbaring lemah seolah beliau tidak akan lagi melihat matahari pagi esok hari. Seharusnya kami, anak-anaknyalah yang  mengaji, dan berdoa untuk keselamatan ayah. Semestinya kamilah yang mengaji dan berdoa agar ayah menemukan kedamaian dalam perjalanannya ini. Tapi kami tidak bisa mengaji dengan baik. Ayah tidak mendorongku secara khusus agar aku bisa mengaji dan memahami Kitab Suci. Barangkali karena pengalaman Ayah sering diperlakukan tidak manusia sebagai warga negera merdeka, beliau lebih  mendorongku untuk giat belajar agar kelak aku menjadi seorang Sarjana Hukum yang mampu membantu orang kecil sebagaimana layaknya warga negara yang terjamin hak-haknya tapi juga tahu dan sadar akan kewajibannya.
            
Tak apalah ayah. Aku masih muda. Aku belum terlambat. Selesai ujian bulan depan, aku berjanji pada diri sendiri, aku akan mempelajari Ilmu Hukum seperti yang Ayah harapkan tapi juga akan mendalami Al Qur’an dan Hadis Rasulullah. Menurut pelajaran agama di sekolah memang pernah dikatakan oleh Guru  bahwa kedua kitab itu juga menjadi sumber untuk menegakkan hukum demi kemaslahatan di dunia mapun di akhirat. Guru itu selesai mengaji. Kemudian dia berdoa lalu didekatkannya mulutnya ke telinga ayah seperti membisikkan sesuatu. Aku juga diminta untuk melakukan hal yang sama dan diminta untuk membisikkan surat Al Fatikhah berikut doa dengan bahasa sendiri agar perjalanan Ayah mendapat bimbingan dari Allah subhanahu wa taala.        
Aku terus berdoa, membaca lagi surat Al Fatikhah, surat Al Ikhlas, dan surat pendek lainnya .Sekali lagi aku di diminta untuk membisikkan dua kalimat syahadat ke telinga ayah., sebelah kanan dan kiri
            
Pukul setengah tiga malam itu, ayah menghembuskan nafas yang terakhir. Kembali aku membaca surat Al Fatihah beberapa kali. Hatiku berkata: Inilah Cuma doa yang bisa kusampaikan untukmu, Ayah. Semoga Ayah memperoleh tempat yang baik di sisi-Nya. Dan aku berusaha dan berjanji untuk melaksanakan amanat yang telah dititipkan Ayah kepadaku. Insya Allah. ***


Tidak ada komentar:

Posting Komentar